Dampak Kebijakan Putin, Rubel Rusia Anjlok

epa04531154 Russian ruble and euro banknotes in Schwerin, Mecklenburg-Western Pomerania, Germany, 16 December 2014. Russia's Central bank raised refinancing rate up to 17 per cent per a year (plus 650 basic points). EPA/JENS BUETTNER

Rimbanusa.id – Sempat meraih tahta tertinggi, nilai tukar rubel Rusia yang sebelumnya menjadi mata uang terbaik di dunia berbalik jeblok lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pekan lalu.

Rubel yang berbalik arah tersebut tidak lepas dari kebijakan Presiden Vladimir Putin dan bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR).

Berdasarkan data Refinitiv, sepanjang pekan lalu rubel jeblok hingga 7,6% ke level RUB 64/US$. Sepanjang tahun ini rubel masih mencatat penguatan sekitar 12%.

Saat menjadi mata uang terbaik di dunia, rubel mencatat penguatan lebih dari 20% melawan dolar AS dan berada di level terkuat dalam 4 tahun terakhir.

Kuatnya rubel tersebut mengejutkan pasar, sebab di awal Maret lalu nilainya ambrol hingga lebih dari 100% dan menyentuh level terlemah sepanjang sejarah RUB 150/US$.

Jebloknya rubel tersebut membuat CBR mengerek suku bunga dari 9,5% menjadi 20%. Presiden Putin juga menerapkan kebijakan capital control. Penjualan gas dan minyak mentah Rusia juga didenominasi dengan rubel.

Serangkaian kebijakan tersebut membuat rubel berbalik arah dan menjelma menjadi mata uang terbaik di dunia.

Di sisi lain, kuatnya rubel tersebut berdampak buruk bagi perekonomian Rusia. Harga jual gas dan minyak bumi dan produk ekspor lainnya menjadi lebih mahal yang tentunya membuat pendapatan negara seret.

“Semakin kuat nilai tukar maka defisit anggaran akan semakin besar. Penguatan itu akan mempersulit para eksportir, menaikkan biaya dan mengurangi pendapatan,” kata Evgeny Kogan, profesor di Higher School of Economic di Moskow, sebagaimana dilansir Bloomberg, Senin (23/5/2022).

Menurut Kogan, nilai tukar rubel yang mendukung perekonomian berada di kisaran RUB 78 – 80/US$.

Presiden Putin pun akhirnya melonggarkan kebijakan capital control pada pekan lalu. Perusahaan Rusia yang sebelumnya wajib mengkonversi valuta asingnya sebanyak 80% menjadi rubel, kini dikurangi menjadi 50%. Selain itu, dengan inflasi yang mulai terkendali, CBR berbalik memangkas suku bunga dengan agresif.

Kombinasi tersebut membuat penguatan rubel akhirnya terhenti.
Dalam tempo satu bulan saja, CBR memangkas suku bunga sebanyak 3 kali masing-masing 300 basis poin menjadi 11%.

Gubernur CBR, Elvira Nabiullina mengatakan jika risiko inflasi mulai mereda, tetapi memperingatkan perekonomian memasuki periode transformasi secara struktural dan perbankan membutuhkan dukungan modal. Penurunan suku bunga tersebut diharapkan dapat membantu perbankan.

Selain itu, Nabiullina mengatakan nilai tukar rubel yang berbalik menguat memberikan dampak signifikan terhadap meredanya tekanan inflasi.

“Berkat rubel yang menguat, inflasi menjadi turun lebih cepat dari yang kami perkirakan. Ini memungkinkan kami untuk menurunkan suku bunga tanpa memicu kenaikan inflasi yang baru,” kata Nabiullina, sebagaimana dilansir Reuters.

Ia juga menyatakan masih ada ruang untuk kembali menurunkan suku bunga, sehingga dapat memacu perekonomian.

Kebijakan tersebut kini berlawanan dengan negara-negara Barat yang secara agresif menaikkan suku bunga. Bank sentral AS (The Fed) menjadi yang paling agresif, bahkan perekonomian Amerika Serikat kini diprediksi akan mengalami resesi akibat kenaikan tersebut.

 

 

Sumber: CNBC Indonesia