Rimbanusa.id – Dunia kini diselimuti kabar buruk secara terus menerus. Bahkan sederet negara kini sudah terancam jatuh ke jurang resesi, namun tidak untuk Indonesia.
Bank Dunia baru saja melaporkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia terbaru, termasuk Indonesia dan sederet negara lain. Indonesia dilaporkan akan meraih pertumbuhan ekonomi 5,1% pada 2022, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 3,7%.
Bila dibandingkan dengan sederet negara berkembang dan maju lainnya, Indonesia jauh lebih unggul. Misalnya Amerika Serikat (AS) yang tumbuh pada 2021 sebesar 5,7% harus rela turun menjadi 2,5% tahun ini. Akibat pengetatan moneter yang dilakukan, AS diramal resesi.
Begitu juga dengan beberapa negara di kawasan Eropa, seperti Inggris dan Jerman. Lonjakan inflasi juga direspons kenaikan suku bunga acuan, sehingga dikhawatirkan berujung resesi. Ekonomi Eropa tahun ini diramal dari 5,4% menjadi 2,5% pada 2022 dan 1,9% pada 2023.
Rusia sudah hampir pasti tak bisa menghindari resesi. Perang dengan Ukraina serta serangan sanksi dari banyak negara, membuat negara yang dipimpin Putin tersebut akan alami kontraksi 8,9%.
Ancaman resesi juga menghampiri negara berkembang. Seperti Turki yang ekonomi turun dari 11% menjadi 2,3% dan Polandia dari 5,9% menjadi 3,9%. Selanjutnya Brasil dan Meksiko juga alami penurunan drastis, di mana tahun ini ekonominya diramal cuma tumbuh di bawah 2%. Argentina tumbuh 4,5% dari posisi 10,3% pada tahun sebelumnya.
Sementara China juga alami perlambatan ekonomi akibat situasi covid-19 yang mulai memburuk. Tahun ini China diramal cuma mampu tumbuh 4,3%
Perlambatan ekonomi yang terjadi memang dikarenakan beberapa faktor. Antara lain covid-19 yang kembali menyebar, perubahan arah kebijakan moneter, hambatan rantai pasok, perang Rusia dan Ukraina hingga inflasi.
David Malpass, Presiden Bank Dunia, bahkan memperingatkan pertumbuhan ekonomi dunia bisa lebih rendah lagi menjadi 2,1% tahun ini dan 1,5% tahun depan. Risiko yang membayangi perekonomian dunia di antaranya pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), perang Rusia-Ukraina, gangguan rantai pasok, serta ‘hantu’ stagflasi.
“Bahaya stagflasi patut dipertimbangkan saat ini. Pertumbuhan ekonomi yang rendah sepertinya masih akan terus terjadi dalam satu dekade ini karena investasi yang lemah di hampir seluruh negara. Dengan inflasi yang mencatat rekor tertinggi dalam beberapa dekade terakhir dan pasokan masih akan tumbuh rendah, maka ada risiko inflasi tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama,” papar Malpass dalam konferensi pers, sebagaimana diwartakan Reuters.
Sumber: CNBC Indonesia