Ini Beberapa Alasan Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur

Rimbanusa.id – Pemerintah akan memindahkan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pemerintah juga sudah menyepakati bahwa ibu kota negara baru diberi nama “Nusantara”.

Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga secara resmi mengesahkan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada Selasa (18/01/2022) lalu. Adanya UU IKN ini menjadi sebuah kepastian hukum yang diperlukan dalam pelaksanaan pemindahan ibu kota negara baru.

Pembangunan fisik IKN di Kalimantan Timur akan dimulai pada pertengahan tahun 2022. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan upacara HUT RI di tahun 2024 akan dilakukan di lokasi ibu kota negara baru.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) memastikan bahwa rencana ini akan dilaksanakan karena telah dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Visi Indonesia 2045.

Lantas apa alasan pemerintah memindahkan ibu kota negara (IKN)?

Dilansir dari laman Indonesiabaik.id dan buku saku Pemindahan Ibu Kota Negara, setidaknya ada enam alasan yang mendasari pemindahan ibu kota negara.

Keenam alasan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penduduk di Jawa terlalu padat
Pertama, alasan utama pemindahan ibu kota negara ini adalah beban Jakarta dan Jawa sudah terlalu berat. Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada 2015 menyebutkan, sebesar 56,56 persen penduduk Indonesia atau 150,18 juta jiwa terkonsentrasi di pulau Jawa.

Sementara di pulau lainnya, persentase penduduk Indonesia kurang dari 10 persen. Kecuali pulau Sumatera, yakni sebesar 22,1 persen atau 58,45 juta jiwa.

Di Kalimantan, persentase penduduk Indonesia hanya 6,1 persen atau 16,23 juta jiwa. Di Sulawesi, persentase penduduk Indonesia sebesar 7,4 persen atau 19,56 juta jiwa. Lalu di Bali dan Nusa Tenggara, penduduknya sebanyak 14,90 juta jiwa atau 5,6 persennya penduduk Indonesia. Sementara di Maluku dan Papua memiliki persentase paling kecil, yakni 2,8 persen atau 7,32 juta jiwa.

2. Kontribusi ekonomi pada PDB
Kedua, alasan pemindahan ibu kota negara adalah kontribusi ekonomi pulau Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia atau Produk Domestik Bruto (PDB), sangat mendominasi.

Sementara pulau lainnya jauh tertinggal. Jokowi ingin menghapuskan istilah “Jawasentris” sehingga kontribusi ekonomi di pulau lain juga harus digenjot.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, kontribusi ekonomi terhadap PDB di pulau Jawa sebesar 59 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi di pulau Jawa sebesar 5,52 persen.

Di Sumatera, kontribusi ekonominya sebesar 21,31 persen. Adapun di Kalimantan, kontribusi ekonominya sebesar 8,05 persen dengan pertumbuhan ekonomi 4,99 persen.

Adapun di Sulawesi, kontribusinya 6,33 persen dengan perrumbuhan ekonomi 6,65 persen. Lalu di Bali dan Nusa Tenggara, kontribusinya 3,06 persen dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07 persen.

Kemudian di Maluku dan Papua, berkontribusi sebesar 2,24 persen dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,40 persen.

3. Krisis air bersih
Alasan lain dari pemindahan ibu kota negara adalah ketersediaan air bersih. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) 2016, Jawa dan Bali mengalami krisis air yang cukup parah. Kondisi paling buruk berada di daerah Jabodetabek dan Jawa Timur.

Hanya sebagian kecil di pulau Jawa yang memiliki indikator hijau atau ketersediaan airnya masih sehat, yakni di wilayah Gunung Salak hingga Ujung Kulon.

4. Konversi lahan terbesar terjadi di Pulau Jawa
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, Pulau Jawa mengalami konversi lahan terbesar di antara gugus pulau lainnya di Indonesia. Tren tersebut diperkirakan akan berlanjut hingga beberapa tahun ke depannya.

Proporsi konsumsi lahan terbangun di pulau Jawa mendominasi, bahkan mencapai lima kali lipat dari Kalimantan. Diprediksi, lahan terbangun di Jawa pada 2030 sebesar 42,79 persen.

Proporsi lahan terbangun di Kalimantan diprediksi meningkat pada 2030 menjadi 11,08 persen.

5. Pertumbuhan urbanisasi sangat tinggi
Selain itu, yang menjadi alasan pemindahan ibu kota adalah pertumbuhan urbanisasi yang sangat tinggi, dengan konsentrasi penduduk terbesar di Jakarta dan Jabodetabekpunjur.

Pada tahun 2013, Jakarta menempati peringkat ke-10 kota terpadat di dunia (UN, 2013). Lalu pada tahun 2017 masuk peringkat ke-9 kota terpadat di dunia.

6. Ancaman bahaya banjir, gempa bumi, dan tanah turun di Jakarta Meningkatnya beban Jakarta sehingga terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi. Hal itu seperti rawan banjir, tanah turun dan muka air laut naik, kualitas air sungai tercemar berat.

Sekitar 50 persen wilayah Jakarta memiliki tingkat keamanan banjir di bawah 10 tahunan (ideal kota besar minimum 50 tahunan).

Wilayah Jakarta terancam oleh aktivitas Gunung Api (Krakatau, Gunung Gede) dan potensi gempa bumi-tsunami, Megathrust Selatan, Jawa Barat dan Selat Sunda dan gempa darat Sesar Baribis, Sesar Lembang, dan Sesar Cimandiri.
Selain itu, tanah turun mencapai 35-50 cm selama kurun waktu tahun 2007-2017.

Editor: Ahmad Fuad Ghazali