Rimbanusa.id – Penelusuran mengenai sosok Josephine L. Kennard tidak mudah. Selain tak begitu dikenal di Tanah Air, literasi mengenai Hakim Agung di California –Amerika Serikat– ini juga tak satupun berbahasa Indonesia. Butuh waktu sekira 3 minggu untuk merangkai jejak hidupnya di Indonesia dan di Negeri Abang Sam. Kami menemukan secuil kisahnya dari pelbagai sumber terpercaya di internet.
Oleh: Faisal Rahman
Ia menjadi hakim keturunan Asia-Amerika pertama yang menjabat paling lama di Mahkamah Agung California. Sepanjang 25 tahun karirnya di sana, Josephine L. Kennard dikenal sebagai sosok independen dan sering membuat keputusan yang tak dapat diprediksi. Contohnya di kasus “Kasky v. Nike, Inc“.
Abad milenium lalu menjadi era kesekian bagi Nike melakukan inovasi terhadap produk bernama Air Max. Di 2003, terobosan kantong udara kecil yang dimasukkan ke dalam sepatu untuk membantu meredam benturan di kaki itu berevolusi menjadi Air Max 2003. Sayang, respon pasar tak lagi sama seperti Air Jordan 1s yang ikonik di era 90-an. Proses produksi footwear bagi sepatu-sepatu Nike ini sendiri tidak dibuat di Amerika Serikat, melainkan dilakukan di fasilitas pabrik Nike di Asia. Seperti Tiongkok, Vietnam, dan Indonesia.
Namun, setahun sebelum Air Max 2003 rilis, Nike –untuk kesekian kali pula– diterpa kabar tak sedap. Hak-hak pekerja mereka di pabrik dianggap telah dilanggar. Kabar ini pertama kali disuarakan Marc Kasky –aktivis yang dikenal banyak membela hak-hak konsumen. Kasky menggugat Nike di Pengadilan Negeri Federal California. Kabar itu menjadi bagian dari tuduhan Kasky jika Nike membuat iklan palsu.
Upaya Kasky ini mendapat dukungan. Tidak hanya dari publik, dia juga mendapat dukungan dari para aktivis Sweatshop –julukan dari para aktivis untuk pabrik-pabrik yang mereka anggap sangat memeras keringat pekerjanya. Nike bahkan menerima kritikan langsung dari publik via surat yang datang ke kantor mereka.
Tuduhan serius terhadap Nike sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Sejak 1996, Nike diterpa kabar bahwa mereka abai terhadap kodisi para pekerja di pabrik Asia. Nike yang tak ingin isu ini merusak citra perusahaan, melakukan pembelaan. Nike bahkan membalas sejumlah surat dari publik yang berisi kritikan mengenai hal ini.
Dalam persidangan Pengadilan Negeri Federal, Nike menyatakan bahwa undang-undang periklanan palsu di Amerika Serikat tidak termasuk dalam pandangan perusahaan mengenai masalah publik. Terlebih, Nike juga menggunakan Amendemen Pertama dalam pembelaannya. Nike awalnya menang di Pengadilan Negeri Federal. Kasky kemudian mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Federal. Namun, Kasky kembali kalah. Nike menang dengan dasar Amandemen Pertama.
Keputusan Pengadilan Tinggi Federal California kemudian dianulir pada 2003 saat Kasky membawa masalah ini ke Mahkamah Agung California. Keputusannya, Mahkamah Agung California memerintahkan meninjau ulang kasus ini –kemudian dikenal sebagai “Kasky v. Nike, Inc“. Meski dikembalikan ke pengadilan setempat, Mahkamah Agung California tidak mengeluarkan keputusan substantif. Kedua pihak kemudian menyelesaikan masalah ini di luar pengadilan tanpa adanya pernyataan dari Nike perihal kondisi pekerja mereka di fasilitas pabrik yang beroperasi di Asia. Pun, kasus ini hanya mencatat penolakan Mahkamah Agung California atas pembelaan Nike.
Dibalik keputusan mengejutkan ini, ada sosok hakim yang paling bertanggung tanggung. Ia adalah Josephine L. Kennard. Dalam opininya yang terkenal, “Kasky v. Nike, Inc” sebanyak 45 halaman –dalam versi Portable Document Format sebanyak 23 halaman– pada 2002 untuk Mahkamah Agung California, Kennard secara eksplisit menegaskan pandangan yang berbeda. “I respectfully dissent,” tulisnya dalam pamungkas kesimpulan opini itu.
Bagi Kennard, terlepas dari motivasi ekonomi Nike, publik memiliki hak untuk menerima informasi yang benar tentang hal-hal yang memang menjadi perhatian. Artinya, iklan palsu yang menggambarkan kondisi pekerja mereka di fasilitas pabrik Asia jelas melanggar aturan. Pernyataan Nike mengenai praktik ketenagakerjaannya di Tiongkok, Vietnam, dan Indonesia, sangat penting diketahui publik agar tak terjadi kontroversi.
Sebab publik juga mengetahui bagaimana Nike menggunakan pekerja di Asia yang berbiaya rendah untuk memproduksi footwear yang dijual di Amerika Serikat. Apa yang dilakukan Nike merupakan pembelaan diri terhadap laporan buruk yang semakin meluas jika mereka melakukan pelanggaran hukum ketenagakerjaan, kesehatan, hingga keselamatan para pekerja di Asia.
Penelusuran yang kami lakukan menemukan gambaran persidangan “Kasky v. Nike, Inc” di www.oyez.org. Selain resume, terdapat pula voice yang berisi argumen Hakim Mahkamah Agung California William H. Rehnquist selama 1 jam lebih dan pengumuman opini yang juga dibacakan William H. Rehnquist. Sementara opini Kennard bisa disimak di www.wneclaw.com.
Selain kasus “Kasky versus Nike“, Kennard juga pernah menangani kasus “Prop 8” atau “Proposition 8” yang juga menarik perhatian publik California. Kasus ini bermula dari referendum dan amendemen konstitusi negara bagian California yang disetujui selama pemilihan umum pada November 2008. Inisiatifnya diprakarsai kelompok yang menentang pernikahan sesama jenis sebelum dikeluarkannya keputusan In re Marriage Cases oleh Mahkamah Agung California pada Mei 2008.
Keputusan yang diambil Kennard menyatakan, pelarangan pernikahan sesama jenis tidak konstitusional. “Prop 8” pada akhirnya dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Agung California –dengan alasan yang berbeda– pada 2010, walaupun keputusan baru berlaku pada 26 Juni 2013. Dengan diberlakukannya keputusan tersebut, Gubernur California Jerry Brown mengizinkan pernikahan sesama jenis di sana.
Riset kami menemukan ratusan opini Kennard yang banyak mengubah wajah hukum California. Setidaknya, ada sekira 236 opini yang ditulisnya. Semua itu bisa diakses di www.courtlistener.com. (*)