Rimbanusa.id – Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium dan premium dinilai Ombudsman RI kurang efektif untuk menekan tingginya harga beras di pasar.
Ombudsman menyarankan Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk mencabut kebijakan HET guna persediaan pasokan beras di pasar aman dan harga beras dapat turun.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengamati harga beras medium dan premium selalu di atas HET hingga saat ini. Belum ada penurunan harga beras secara signifikan setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan bantuan pangan dan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Pasalnya di pasar tradisional, tidak ada beras yang dilabel sebagai beras mediun maupun premium sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah.
“Kebijakan HET pada dasarnya hanya menjadi acuan bagi pasar modern. Kalau pasar tradisional, tidak ada yang namanya HET itu. Rezim HET hanya berlaku di pasar modern, jadi pola kebijakan HET enggak pas dalam menstabilkan harga beras,” terang Yeka dalam konferensi pers dalam tayangan kanal Youtube Ombudsman RI, Senin (18/9).
Yeka menjelaskan, tidak efektifnya HET terlihat dari beberapa kali naiknya harga beras sepanjang tahun 2022-2023. Sejak bulan November 2022, harga beras naik menjadi Rp 12.814 per kilogram, lebih tinggi dari HET yagn ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebesar Rp 12.800 per kilogram untuk periode Januari 2022-Maret 2023.
Sedangkan, harga beras premium sudah melebihi HET sejak November 2022 dan terus melonjak naik mencapai Rp 14.555 per kilogram pada September 2023.
“Per November 2022, harga riil beras premium sudah melebihi HET. Kita per 5 bulan merevisi HET dari Rp 12.800 menjadi Rp 13.900. Artinya ada masa dari bulan November dan April, HET dibiarkan liar. Kalau kewajiban mestinya ada upaya pengawasan, tapi dibiarkan liar akhirnya direvisi (HET-nya), ucap Yeka.
Kenaikan juga terjadi pada harga beras medium. Per Januari 2023 harga beras mediun mencapai Rp 10.362 per kilogram, melebihi HET yang telah ditetapkan Kemendag sebesar Rp 9.450 0er kilogram.
Tak hanya berhenti disitu, harga beras terus melonjak naik hingga mencapai Rp 12.740 per kilogram pada September 2023, meski Kemendag telah merevisi HET menjadi Rp 10.900 per kilogram beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut, Yeka menjelaskan masalah utama harga beras terletak pada suplai dan permintaan beras. Artinya, apabila suplai beras banyak harga akan bisa turun. Namun, jika suplai beras sedikit, otomatis harga akan naik.
“Sekarang posisinya kita sepakat nanti kita lihat ini persoalan produksi. Buat apa kita pakai HET gitu karena persoalannya produksi,” ujar Yeka.
Adapun, jika menentukan berdasarkan HET, pembuat kebijakan akan kesulitan melakukan penindakan di pasar-pasar tradisional, di mana beras yang dijual tidak mencantumkan label medium dan premium meski harganya tergolong tinggi.
Yeka menambahkan agar penegak hukum tidak keliru membuat patokan HET beras. Ia berharap HET tidak menjadi pemicu menjerat para pelaku usaha sehingga penyaluran suplai beras tidak berjalan lancar. (Sumber: Kompas.com/Fika Nurul Ulya)
Editor: Bintang