Rimbanusa.id – Dalam hal menjaga waktu, spesies burung pengicau yang sederhana setara dengan musisi professional. Pernyataan ini menurut penelitian baru dunia hewan yang dipimpin oleh para ilmuwan dari University of Texas di Austin.
Studi ini adalah yang pertama menyelidiki kemampuan menjaga waktu alami seekor hewan di alam liar. Pengamatan lebih banyak dilakukan langsung di alam liar daripada di laboratorium. Studi tersebut mempelajari nyanyian burung wren bersisik. Burung kecil ini berwarna coklat yang terkenal dengan kicauannya yang seperti peluit. Burung ini bisa ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan.
Nyanyian burung liar menunjukkan keterampilan menjaga waktu yang lebih baik daripada mamalia dan burung yang dilatih di penangkaran. Hasilnya menggarisbawahi pentingnya mempelajari hewan di laboratorium dan di alam. Sehingga mendapatkan pandangan yang akurat tentang kemampuan mereka, kata penulis utama Carlos Antonio Rodriguez-Saltos.
“Kita harus menggunakan kekuatan keanekaragaman hayati untuk memahami hal-hal ini selagi kita masih bisa,” kata Saltos, yang melakukan penelitian itu saat menjadi peneliti pascadoktoral di UT Jackson School of Geosciences.
Hasil penelitiannya dipublikasikan di jurnal Animal Behavior pada 16 Juli 2022. Tulisannya itu dia beri judul Precise and nonscalar timing of intervals in a bird vocalization. Profesor Sekolah Jackson Julia Clarke juga ikut menulis dalam penelitian ini. Ia juga seorang ahli evolusi vokalisasi burung pada spesies yang hidup dan punah.
Burung tidak memiliki buku nyanyian. Tetapi beberapa spesies menyanyikan nada yang sama. Nada berkicau burung ini berada dalam pola yang dapat dikenali. Untuk burung wren dengan dada bersisik, polanya seperti ini: kicauan pembuka yang diikuti dengan interval kicauan dan jeda bergantian. Lalu dengan jeda di antara setiap kicauan yang semakin lama.
Saltos menjadi akrab dengan lagu burung ini saat menjadi mahasiswa sarjana di Ekuador. Waktu itu, profesor ekologinya mengajarinya bagaimana mengidentifikasi pola yang berbeda di antara hiruk pikuk suara hutan hujan. Bertahun-tahun kemudian, ia menyadari bahwa fitur unik dari lagu wren – jeda yang terus berkembang di antara kicauannya – menghadirkan kesempatan unik untuk mempelajari kemampuan pelacakan waktu burung tersebut.
“Ini adalah perubahan yang sangat luar biasa dari interval pendek ke interval panjang dalam lagu yang sama,” kata Saltos.
Jeda antara setiap kicauan tumbuh dengan cara yang dapat diprediksi. Memanjang sekitar setengah detik setiap kali. Setelah jeda mencapai sekitar 10 detik, burung-burung itu kemudian mengulangi nyanyiannya dari awal.
Dalam eksperimen laboratorium, sebagian besar hewan – termasuk manusia – mengalami kesulitan menentukan berapa lama waktu telah berlalu setelah hanya satu atau dua detik. Secara umum, semakin lama interval waktu, semakin buruk hewan dalam memperkirakan perjalanannya.
Tetapi untuk wren liar, 43% lagu (10 dari 23 lagu yang memenuhi persyaratan untuk evaluasi) secara konsisten mempertahankan waktu selama durasi lagu. Lagu burung ini dengan interval mempertahankan pola yang telah ditetapkan meskipun jeda bertambah panjang.
Untuk dua lagu tersebut, akurasi wren lebih tinggi daripada rata-rata musisi profesional. Luar biasa!
“Jika betina sangat tertarik pada kemampuan jantan, tidak hanya untuk menghasilkan nada yang tepat tetapi juga waktu produksi mereka, maka akan ada tekanan,” kata Susan Hely, seorang profesor yang mempelajari perilaku burung di University of St Andrews, tapi tidak ikut dalam penelitian ini. Ia memiliki sebuah gagasan, bagaimana waktu mungkin berperan dalam tampilan kawin burung wren.
Kicau burung yang dianalisis dalam penelitian ini berasal dari rekaman lapangan. Beberapa dibuat oleh Saltos dan rekan penulis Fernanda Duque di Ekuador. Lainnya datang dari para pecinta burung yang mengunggah rekaman lagu secara online. Data tentang waktu pada hewan lain berasal dari penelitian lain.
“Kasus ini menunjukkan bagaimana mempelajari burung dapat memberikan wawasan baru yang sangat besar tentang kognisi dan ketepatan waktu,” pungkas Clarke. (Sumber: National Geographic Indonesia/Wawan Setiawan)
Editor: Faizah